Anton Wahyudi bersama gerobak nasi goreng miliknya. Rahmat Sularso Nh./bejo.net |
“Sejak SMP saya sudah bekerja. Awalnya ikut bekerja menjadi distributor minuman limun dan pernah juga sebagai pengambil telor di peternakan ayam”
beritajombang.net, JOMBANG - Penampilannya rapi tetapi sederhana dan sering tertawa lepas saat berdiskusi di warung kopi, itulah khas Anton Wahyudi. Pemuda 26 tahun ini adalah dosen beberapa perguruan tinggi di Jawa Timur. Sebelumnya banyak orang yang tidak mengira bahwa dirinya berhasil melanjutkan pendidikan hingga gelar master. Maklum saja ia lahir dan tumbuh di keluarga sederhana. Ayahnya hanyalah penjual nasi goreng dan ibunya membantu memenuhi kebutuhan keluarga dengan menjahit di rumahnya di Desa Jabon, Kecamatan Jombang.
Sebelumnya, Anton –begitu panggilan akrabnya—tak pernah membayangkan akan menempuh pasca sarjana. Ketika itu, setelah lulus S1 sebuah sekolah tinggi keguruan, dia membuat lamaran pekerjaan sebanyak mungkin dan tidak satu pun yang nyantol (Jawa: diterima). Berbekal nekad, dia melanjutkan pendidikan di program pasca sarja di Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Anton bercerita perjalan hidupnya penuh liku. Untuk dapat mengenyam pendidikan dia harus bekerja keras. Bukan orang tua saja melainkan dirinya pun rela membagi paruh waktunya setelah sekolah melanjutkan bekerja untuk memenuhi kebutuhan kuliah.
“Sejak SMP saya sudah bekerja. Awalnya ikut bekerja menjadi distributor minuman limun dan pernah juga sebagai pengambil telor di peternakan ayam,” ujar anak pertama dari tiga bersaudara.
Demikian juga saat di SMA, dia mesti bekerja berjualan nasi goreng di tengah-tengah padatnya jadual tugas sekolah. Dampaknya, Anton Wahyudi di angkatannya tercatat sebagai pemecah rekor peserta didik yang paling banyak alpha atau tidak masuk tanpa alasan saat jam belajar. Mata pelajaran dan tugas yang tertinggal terpaksa banyak yang ditanyakan ke teman sekelas sambil meminjam beberapa catatan.
Kondisi ini juga masih berlangsung hingga S2. Bahkan mengawali mendaftar S2 dengan biaya jutaan rupiah pun, Anton Wahyudi merelakan menjual motor ayahnya. Ternyata hasil penjualan motor masih kurang untuk melunasi biaya pendaftaran S2, sedangkan dia belum memperoleh pekerjaan tetap. Akhirnya, komunikasi yang digunakan sebagai senjata guna mendapatkan rekomendasi kemudahan melunasi sisa pembayaran.
“Saya rela bertahan dengan uang seadanya tinggal di masjid kampus supaya bisa bertemu pemangku kebijakan. Tujuannya supaya memperoleh dispensasi pembayaran.”
Bahkan Anton sempat berjualan nasi goreng kembali di Surabaya. Memanfaatkan kayu bekas di gudang sebelah masjid kampus diubah menjadi gerobak nasi goreng.
“Uang hasil penjualan sepeda saya bayarkan setengahnya. Sisanya digunakan untuk memulai berjualan nasi goreng dan belanja bahan di Jombang karena lebih murah,” terang Anton Wahyudi.
Berjualan nasi goreng di Surabaya ternyata tidak bertahan lama hanya satu semester. Setelah itu jalan memperoleh biaya tambahan membayar program pasca sarja semakin mudah. Anton Wahyudi beralih memberikan les tambahan kepada pelajar di Surabaya yang bersifat privat. Praktis penghasilan yang diperoleh pun semakin laik.
“Sebelum berangkat ke rumah peserta yang akan saya berikan les. Biasanya kalau malam saya survei sebab belum hafal jalan,” jelas Anton Wahyudi.
Kebiasaan mensurvei yang dilakukan oleh Anton Wahyudi karena pekerjaannya sebagai instruktur les privat menuntutnya harus datang tepat waktu. Padahal saat itu dirinya belum hafal jalan di kota Surabaya apalagi harus menggunakan kendaraan umum.
Meski begitu, Anton Wahyudi mengaku banyak belajar dari perjalanan hidupnya sendiri. Hal yang patut disyukuri adalah ketika dirinya merasa dapat melakukan semua yang semula tidak mungkin. Kesabaran dalam berusaha pasti akan berbuah manis. (lar)
Posting Komentar